‘Istana Niat’ Lima Laras kurang terawat
ASAHAN - "Istana Niat" yang berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara kurang mendapatkan perawatan sehingga kurang menarik kunjungan wisatawan.
Kondisi itu diperparah dengan buruknya prasarana transportasi menuju ke istana yang terletak tidak jauh dari pantai tersebut, kata tokoh masyarakat Batubara, Amrin Almy, tadi malam.
Amrin Almy menyatakan, kurangnya perawatan itu menyebabkan dinding dan tiang bangunan yang menjadi kebanggaan etnis Melayu Batubara tersebut banyak yang lapuk dimakan rayap.
Selain itu, kayu penghias teras yang berfungsi sebagai penahan angin yang berada di bagian depan bangunan istana tersebut juga banyak yang patah akibat lapuk termakan rayap.
Kondisi itu menyebabkan Istana Niat Lima Laras tidak menarik lagi untuk dikunjungi wisatawan, kata mantan anggota DPRD Kabupaten Asahan tersebut.
Selain itu, kata dia, kondisi halaman istana tersebut juga kurang terawat sehingga banyak ditumbuhi lalang dan rumput yang cukup tinggi.
Kondisi itu diperparah dengan kondisi prasarana transportasi yang buruk sehingga semakin mengurangi niat masyarakat lokal maupun dari luar negeri untuk mengunjungi istana tersebut.
Bahkan, jembatan yang menjadi satu-satunya prasarana yang menghubungkan Desa Lima Laras dan desa-desa lain di sekitarnya baru diperbaiki tahun ini.
"Sebelum diperbaiki, hampir tidak ada orang yang berani melintas jembatan itu kalau tidak karena sangat terpaksa," katanya.
Ia mengharapkan Pemkab Batubara memperbaiki Istana Niat Lima Laras itu agar kembali menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung.
Malah, ia mengusulkan agar dinding dan tiang bangunan Istana Niat digantikan dengan keramik sehingga tidak dimakan rayap lagi.
Istana Lima Laras adalah sejarah yang terlupakan. Namanya kalah tenar ketimbang Istana Maimun di Medan. Walau tidak kokoh benar, Istana Lima Laras masih berdiri di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara.
Sepintas dari depan terlihat warna hijau bangunan istana sudah kusam. Istana berlantai empat yang dibangun pada 1912 itu sudah lapuk dimakan zaman. Oleh karena itu, dalam brosur pariwisata Sumatra Utara, Istana Lima Laras tidak tercantum lagi sebagai salah satu objek wisata.
Istana yang berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter ini dibangun Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras XII, putra tertua raja sebelumnya,
Datuk H Djafar gelar Raja Sri Indra. Semula istana ini bernama Istana Niat, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya pusat pemerintahan kerajaan Lima Laras yang tunduk pada Kesultanan Siak di Riau dan diperkirakan sudah ada sejak abad XVI, sering berpindah-pindah karena belum punya istana permanen.
Sesungguhnya bangunan istana ini, sangat mengagumkan. Semua bahan yang dipakai terdiri dari kayu yang diukir sedemikian rupa. Semua dinding, jendela, pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.
Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.
Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.
Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis dan bala tentara Jepang.
Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda.
Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.
Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).
Masa Agresi Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
Istana Lima Laras yang menghadap selatan itu memiliki empat anjungan di ke empat arah mata angin. Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Akan tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.
Lantai pertama yang terbuat dari beton, dilengkapi balai rung atau tempat bermusyawarah. Di lantai dua dan tiga terdapat kamar-kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Total, istana ini memiliki 28 pintu dan 66 pasang jendela. Untuk naik ke tingkat dua dan tiga, selain tangga biasa di bagian luar, ada tangga berputar dengan 27 anak tangga dari bagian dalam.
Jika berkunjung ke istana itu sekarang ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga sudah hilang dan bagian tengah telah putus karena lapuk. Jangan berharap juga bisa melihat bekas singgasana atau peralatan tanda kemegahan kerajaan itu pada masa lampau.
Sebagian besar perlengkapan istana sudah hancur atau raib. Datuk Muhammad Azminsyah, 62, salah seorang cucu Datuk Matyoeda, beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan istana. Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat.
Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa. Menurut Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang," kata Maddin.
Renovasi terakhir yang dilakukan pemerintah tahun 1980-1981 dengan biaya Rp234 juta, saat masih dikelola Kanwil Depdikbud Sumut. Setelah diserahkan ke Pemda Asahan sejak 14 September 1990, praktis tidak ada perbaikan apapun lagi. Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana Lima Laras tidak dihuni lagi. Malam hari, tidak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih.
Inilah peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya, sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe.
Baca juga ini